Cerita Tentang Kuliah Kerja Nyataku (2)
Bila menyimak tulisan sebelumnya, Brianlah salah seorang temanku saat SMA yang menawariku untuk bergabung dalam kegiatan KKN-nya. Ajakan tersebut, tentu saja tidak bisa aku kutolak, bahkan aku bersyukur kepada Kehadirat Ilahi, melalui dirinyalah saya kemudian dapat menjalankan proses pengabdian ini secara bersama.
Setelah aku menyanggupi tawarannya, ia kemudian memasukkan ke sebuah grub berisi mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta yang tinggal di Banyuwangi. Hampir semuanya, tidak aku kenali. Hanya Brian, teman sebangkuku saat SMA.
Selain itu, terdapat seorang yang mungkin saling tahu. Tapi, sepertinya kita sebelumnya, tidak saling berani untuk memulai berbicara. Inggrit, misalnya. Dara muda asal Purwoharjo itu dulu sempat bersekolah di dekat sekolahku, ingatanku terhadap dirinya pertama kali sedikit lamur. Kalau tidak salah, sempat dulu ketika SMA, usai Brian menorehkan prestasi dalam bidang seni kriya pada ajang FLS2N tingkat provinsi, ia pernah bercerita sembari menunjukkanku sebuah foto bersama rekannya, seorang perempuan dengan menggunakan topi, yang kemudian saat ini aku tahu bahwa itu adalah Inggrit. Siapa mengira, gadis bertopi di foto itu kemudian menjadi rekanku saat KKN.
Awal masuk, hanya Inggrit mungkin merupakan seorang perempuan pertama dengan tahun kelulusan yang sama, asal Banyuwangi yang aku tahu. Walaupun begitu, aku terhadap dirinya, hanya sebatas tahu. Tidak pernah ada percakapan di antara kita, bahkan saat diberi kesempatan untuk bertemu dengannya sekalipun. Pernah dulu di tengah kegelapan di salah satu pantai di Gunung Kidul, saya melihatnya mengikuti acara Malam Keakraban (Makrab) mahasiswa Banyuwangi yang berkuliah di Yogyakarta. Aku hanya sebatas menatapnya, dan tidak ada keberanian untuk menemuinya hanya sekadar untuk membuka sebuah obrolan, atau menitipkan salam kepada dirinya untuk Brian.
Sempat juga, kami dipertemukan dalam sebuah acara maulid nabi yang diselenggarakan oleh mahasiswa Banyuwangi di Yogyakarta. Sama dengan acara Makrab, aku hanya bisa menatapnya dan mendengar suaranya berhasil menggondol sebuah hadiah batik dari salah seorang donatur yang dulu juga pernah menjadi bagian keluarga mahasiswa Banyuwangi di Yogyakarta. Kain tersebut, berhasil ia peroleh berkat kemampuannya dalam menjawab salah satu pertanyaan dari pengurus KPMBY (Keluarga Pelajar Mahasiswa Banyuwangi Yogyakarta). Barangkali itu pertemuanku dengan dirinya terakhir kalinya, hingga akhirnya bertemu kembali saat akan memproses perijinan perihal KKN bersama.
13 Juli 2020
Kala itu hari telah berada di Senin. Sesuai kesepakatan yang ada di grub, kami mencoba untuk berkumpul pertama kali, dalam rangka mengurus perijinan Kuliah Kerja Nyata terlebih dahulu. Bertempat di kediaman Wahyu, salah seorang yang kemudian menjadi temanku, menjadi titik awal bagi kami untuk melanjutkan langkah selanjutnya. Upaya pertama kaliku berkumpul tersebut, sempat membuatku canggung dan kesal. Canggung karena baru pertama kali diantara mereka kita bertemu, dan kesal karena Brian yang coba saya ajak untuk berangkat bersama, tidak kunjung merespons segela panggilan saya. Baik panggilan melalui aplikasi Whatsapp, hingga mengunjungi rumahnya, lebih dari satu kali. Tampaknya ia sedang tidur aku menghubunginya berkali-kali, hingga kemudian akhirnya dia bangun dan berangkat bersama kami.
Sesampainya di kediaman Wahyu, sudah hadir beberapa orang disana. Selain dari tuan rumah, di rumah itu terdapat Inggrit dan seorang laki-laki yang juga akan turut dalam kegiatan ini. Laki-laki itu bernama asli Wiyanto, namun teman-teman memanggilnya Mimi. Entah kenapa, ia sepertinya lebih suka dipanggil dengan nama tersebut, dibandingkan dengan nama aslinya.
Sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, hari itu juga kami pun mengurus perijinan KKN kami. Balai Desa Olehsari, menjadi tempat pertama yang kami tuju. Syukur ketika kami mengunjungi, beberapa perangkat inti desa sedang berada di sana. Seperti misalnya, Bapak Haji Suprapto, yang menjabat sebagai Sekretaris Desa. Dan Bapak Joko Mukhlis sebagai Kepala Desa Olehsari.
Sungguh tiada yang lebih menyenangkan dari sebuah kunjungan ke suatu tempat, selain penerimaan dari tuan rumah. Senyaman apa pun tempat yang dikunjungi, seenak apapun makanan yang disuguhkan, bila kedatangan kami tidak terima, hanya membuat perasaan kami kosong. Balai Desa Olehsari, memang tidaklah megah secara bentuk arsitektur, tapi secara menghormati tamu, boleh dikatakan memuaskan. Dan itu yang tidak bisa ditawar lagi, hingga di kemudian hari.
Hal yang aku ingat saat pertemuan itu, pihak Pemerintah Desa Olehsari, tidak terlalu mempermasalahkan keinginan kami untuk KKN di desanya, meskipun saat itu dan saat tulisan ini dibuat, keadaan pandemi korona belum usai. Hanya saja, untuk alur, kami diminta untuk meminta ijin terlebih dahulu ke pihak kecamatan. Tak lama setelah mendengar hal tersebut, kami pun undur diri untuk kembali ke rumah Wahyu, dan mempersiapkan hal-hal yang terkait dengan perijinan di Kecamatan Glagah.
Saat kami sedang mempersiapkan berbagai hal-hal yang terkait dengan perijinan, tanpa diduga, dari pihak tuan rumah memberi kami sebuah makan berupa mie ayam yang bisa dikatakan enak. Ayahnya Wahyu ternyata merupakan seorang pembuat bakso yang juga turut menjualnya di depan lapangan Olehsari. Dengan dibantu ibunya, biasanya ia berangkat setelah duhur dan pulang saat maghrib tiba. Beberapa kali kemudian saya berkunjung kesana, nampaknya warungnya bisa dikatakan laris, hal itu dibuktikan dengan banyaknya pengungjung yang membeli.
Usai menyantap makanan tersebut, beberapa menit kemudian dengan teriknya matahari kami pun bergegas untuk berkunjung ke kantor Kecamatan Glagah. Seingatku lama sekali baru aku bisa masuk, saat masuk pun ruangan pelayanan tampak begitu lengang. Kedatangan kami memang diterima, tapi kami belum bisa menemui langsung ketua camatnya, kebetulan beliau sepertinya ada urusan. Seingatku tidak ada yang bisa kami perbuat, waktu itu kalau tidak salah aku sedang mengantuk, sehingga tidak terlalu memperhatikan.
Entah menghasilkan keputusan seperti apa, saya lupa. Tampaknya mereka menyuruh kami kembali lagi di kemudian hari. Menyikapi hal tersebut, kami pun kembali pulang ke rumah Wahyu, berbincang kembali dan setelah itu kami pun pun menjelang sore hari.
Berdasarkan obrolan aku dengan Brian melalui aplikasi Whatsapp, terlihat kalau tanggal 14 Juli 2020 atau keesokan hari setelah hari ini gagal mengurusi perijinan di kecamatan. Kami pun bertandang kembali di Desa Olehsari. Dengan mengendarai vespa milik ayahnya, kami pun menembus lalu lalang kendaraan yang datang silih berganti. Sayang, saat kami datang di kecamatan. Kami ditinggal Wahyu dan Inggrit, yang sudah masuk terlebih dahulu menemui pak camat. Keadaan semacam itu, memaksa kami menunggu diluar. Sambil menanti mereka tiba, aku menggunakan momen itu mendengar cerita kehidupan Brian. Dan setelah mereka tiba, dengan kemudian mengurus beberapa urusan lainnya, Brian mengantarkanku kembali pulang.
Bersambung